Kancil berlari layaknya tengah dikejar
hewan pemangsa. Ia menerobos apa saja yang berada didepannya. Tingginya ilalang
bukanlah penghalang, pohon menjulang tidak menjadi aral melintang. “aku harus
berlari demi keselamatan diri” kata Kancil. Berlari dan berlari hanya itu yang
bisa dilakukannya untuk menghindari kejaran Buaya. Kalau ia sampai tertangkap
pastilah Buaya-buaya itu akan mencincangnya. Nafasnya terengah-engah karena
sekian lama berlari, akhirnya ia berhenti di sebuah sendang, Kancil minum
kemudian beristirahat. “aku telah membohongi Pak Tani dan Anjingnya, Kera, dan
Buaya. Sekarang aku tengah menghadapi masalah yang berat karena Kera akan
melaporkan aku kepada Harimau. Sang raja pasti akan memangasaku karena ini.”
kata Kancil dalam hatinya. Ia duduk termenung dipinggir sendang itu merenungkan
nasibnya. “aku pasti bisa menghadapinya.” Kancil menyemangati dirinya.
Merasa sudah cukup beristirahat,
Kancil meneruskan perjalanannya yang tanpa tujuan. Langkahnya gontai menyusuri
lebatnya hutan. Cukup jauh berjalan, Kancil bertemu dengan serombongan Kerbau.
“Hendak kemana kamu Cil?” Tanya kepala
rombongan Kerbau, kepada Kancil.
“Tidak tahu, aku hanya ingin berkelana
mengelilingi seluruh hutan ini. kalian sendiri mau kemana?” Kancil balik
bertanya.
“Kami semua akan pergi menghadap sang
raja. Seluruh hewan di hutan ini mendapat undangan. Apakah kamu tidak diundang
sang raja Cil?”
“Tidak! Memanganya ada apa gerangan
sang raja mengumpulkan seluruh warga hutan? Adakah hal sangat penting?” Kancil
ingin tahu.
“Kami sendiri tidak tahu. Beberapa
hari yang lalu, Merpati utusan raja menemui kami untuk menyampaikan berita ini.
Sang raja menghendaki seluruh rakyatnya berkumpul pada purnama nanti.” Jelas
kerbau.
“Aku tidak menerima undangan itu,
mungkin karena aku selalu berpindah-pindah tempat jadi tidak bertemu dengan
utusan raja.”
“Walaupun kamu tidak mendapatkan
undangan, seharusnya kamu tetap datang kepertemuan itu, karena engkau juga
warga di hutan ini. sebagai warga yang baik, tentulah kau harus mentaati
peraturan disini.” Bujuk Kerbau mengajak Kancil.
Kancil sangatlah tahu apa yang akan
terjadi kalau saja ia menghadiri acara tersebut. Harimau akan langsung
memakannya, karena Kera pastilah sudah melaporkan tindakannya.
“Mungkin karena aku hanya hewan kecil
yang sama sekali tidak berpengaruh di hutan ini, hingga tidak perlu mendapatkan
undangan. Lebih baik kalian saja yang pergi, dan sampaikan salam hormatku
kepada sang raja.” Kancil beralasan.
“Baiklah kalau begitu, kami akan
menyampaikan salammu kepada sang raja.”
Selesai mengatakan itu, merekapun
berpisah. Kancil terus menerus menebak apa yang akan dibicarakan dalam
pertemuan itu. Pikirannya semakin dipenuhi oleh kalut dan takut. Semakin ia
berjalan, semakin ketakutan itu menghantuinya hingga akhirnya Kancil
menghentikan langkah karena malam telah datang.
Sementara itu, Kera telah sampai
ketempat Harimau sang raja hutan. Malam itu Kera menceritakan semua kejadian
yang baru saja dialaminya bersama Kancil. Tentu saja laporan Kera kepadanya
membuat Harimau sangat geram kepada Kancil.
“Tapi kamu juga bodoh. Aku mengutusmu
karena menganggapmu sebagai hewan yang paling cekatan diantara yang lain, namun
ternyata kamu tidak sepintar yang aku duga.” Bentak Harimau.
Kemarahan Harimau tentu saja membuat
wajah Kera pucat pasi. “maafkan hamba yang mulia. Tapi sungguh Kancil sangatlah
cerdik dan saya akhirnya terbuai rayuannya..” Ucap Kera gemetar menahan takut.
“Bukan Kancil yang cerdik, melainkan
kamu yang bodoh.” Kata Harimau lebih keras, yang tentu saja membuat Kera
semakin ketakutan.
“Maafkan saya paduka. Tolong jangan
hukum saya. Saya bersedia melakukan apapun demi maaf dari yang mulia.” Kera
memohon.
Semula Harimau memandang Kera dengan
tatapan penuh kemarahan, namun mendengar permintaan maaf dan cerita Kera yang
nampaknya tidak dibuat-buat menjadikannya luluh juga.
“Baiklah, aku maafkan kamu.” Kata
harimau.
Tatap mata Kera langsung berbinar
mendengar jawaban Harimau rajanya. Mukanya kembali cerah dan senyum merekah
lagi dibibirnya.
“Terimakasih yang mulia, terimaksih.”
Ucap Kera berkali-kali. Begitu mendapatkan permintaan maaf dari Harimau, Kera
hendak langsung meninggalkan tempat itu dengan tujuan menghindari kemarahan
selanjutnya. Belum sempat ia berpamitan, Harimau meneruskan perkataanya.
“Sebagai ganti dari kekeliruan yang
kau buat aku akan memberikan tugas baru untukmu.”
“Tugas apa gerangan yang akan yang
mulia berikan kepada saya? Saya takut kalau tidak mampu mengembannya.” Ucap
Kera sambil menundukkan wajah.
“Besok malam aku mengundang seluruh warga hutan untuk berkumpul ditempat
ini.” Jelas Harimau. “Aku ingin pergi mengembara beberapa waktu kedepan, dan
dalam pertemuan itu akan diumumkan bahwa aku menyerahkan tampuk kepemimpinanku
untuk sementara kepada Gajah.” Jelas Harimau.
Kera sempat terperanjat dengan
perkataan Harimau. “Bukankah biarpun paduka berkelana, anda tetaplah raja
kami?” Tanya Kera.
“Aku memang tetap raja kalian, namun
aku juga tidak ingin ada kekosongan kekuasaan disini yang pada akhirnya memecah
belah persatuan seluruh warga huta. Oleh karena itulah aku menunjuk Gajah untuk
menggantikan posisiku sementara waktu.” Harimau menerangkan. “Diantara semua
warga hutan, Gajahlah yang paling pantas menggantikanku, karena anakku belum
cukup dewasa. Dia kekar, berwibawa, dan cukup disegani oleh hewan-hewan
lainnya. Jadi kuharap aku tidak salah pilih.” Harimau melanjutkan.
“Lalu tugas apa yang hendak tuan
berikan kepada saya?” Kera bertanya.
“Aku kau ikut bersamaku mengembara.
Aku pasti akan memerlukan banyak tenagamu kelak.”
Kera langsung bersemangat mendengar
ajakan Harimau. “Baiklah yang mulia, hamba akan menuruti semua perintah paduka
dalam pengembaraan nantinya.” Jawab Kera tegas.
Setelah pembicaraan tersebut berakhir,
keduanya berpisah unuk saling beristirahat.
Hari yang ditunggu akhirnya tiba.
Menjelang malam sudah berdatangan, Kerbau, Kuda, Banteng, Jerapah, Kambing,
Ayam, Gajah, dan semua penghuni hutan lainnya kecuali Kancil yang merasa bahwa
dia tidak diundang.
Dibawah terangnya cahaya rembulan,
mereka berkumpul membentuk setengah lingkaran dimana raja mereka, Harimau
berada didepannya. Setelah semuanya berkumpul, Harimau mulai berbicar kepada
seluruh rakyatnya.
“Malam ini aku sengaja mengundang
kalian semua kesini karena aku ingin menyampaikan sebuah pengumuman yang
penting.”
Seluruh undangan terlihat saling
mengkerutkan dahinya tanda tengah menerka-nerka pengumuman penting apakah yang
akan disampaikan raja mereka.
Belum terlalu lama mereka berpikir,
Harimau melanjutkan kata-katanya.
“Sudah sekian lama aku terus-menurus
hanya berada ditempat ini karena kewajibanku sebagai raja kalian. Dalam
beberapa bulan kedepan, rasanya aku ingin kembali mengembara menikmati
bagaimana rasanya mencari hewan buruan layaknya dulu ketika masih muda.......”
Harimau belum sempat menyelesaikan
kata-katanya, Kuda menyela.
“Kalau tuan meninggalkan tempat ini
siapa yang kan menjadi pemimpin tempat kami berkeluh kesah?”
“Benar yang mulia. Bukankah semua
kebutuhan paduka sudah disediakan semuanya?” Kerbau menambahkan.
“Justru karena pertanyaan itulah aku
mengumpulkan kalian semua disini. Setelah aku mempertimbangkan secara matang,
aku menjatuhkan pilihanku kepada Gajah yang akan menggantikan posisiku
sementara waktu.”
“Kenapa bukan putera paduka yang
menggantikan posisi yang mulia?” Banteng menyela.
“Kalian semua tentu telah mengetahui
kalau anakku masih terlalu muda untuk mengemban tugas ini. Oleh karena itulah
aku memilih Gajah yang berbadan kekar dan kuat serta sudah berpengalaman dalam
memimpin kelompoknya. Kau sanggup mengemban tugas ini Gajah?” Tanya Harima kepada
Gajah.
“Saya merasa kurang mampu dalam
mengemban tugas ini. Namun kalau yang mulia meminta saya akan berusaha semampu
saya.”
“Gajah telah setuju dengan
keputusanku, sekarang tinggal kalian. Bagaimana, setujukah kalian apabila Gajah
menggantikanku untuk beberapa waktu?” Harimau ganti bertanya pada seluruh
warganya.
“Setuju!” jawab mereka serempak.
“Kalau kalian semua telah setuju, maka
pertemuan kita berakhir disini. Mulai besok, Gajah akan menjadi pemimpin baru
kalian. Patuhilah ia seperti kalian mematuhi aku. Sekarang beristirahatlah
kalian semua.”
“Terimakasih yang mulia.” Kata seluruh
warga hutan bersamaan.
Pertemuan malam itupun berakhir dengan
menghasilkan keputusan bahwa Gajah akan menggantikan posisi Harimau sebagai
raja hutan untuk sementara waktu, karena Harimau akan kembali mengembara.
Semuanya setuju, tidak ada satupun yang menolak keputusan raja hutan tersebut.
Pagi itu dengan diiringi tatap mata
seluruh penghuni hutan, Harimau dan Kera pergi meninggalkan pusat kerajaan
hutan untuk mengembara. Warga hutan-pun segera meninggalkan tempat pertemuan
tersebut untuk pulang kerumahnya masing-masing setelah melepas kepergian raja
mereka. Hanya Gajah saja yang tertinggal ditempat itu, karena sekarang ialah
yang diserahi tanggung jawab untuk mengurusnya.
Harimau dan Kera terus berjalan
menyusuri lebatnya rimba. Matahari belumlah tinggi, panas belum begitu
menyengat. Riuhnya kicau burung juga masih terus menemani perjalanan sang raja
hutan. Diantara ramainya kicauan burung, Harimau amat terpukau dengan suara
Kutilang yang merdu.
“Kera, kemari!” perintahnya pada Kera
yang berada dibelakangnya.
Kera langsung mendekati majikannya.
“Ada apa yang mulia?”
“Kamu dengar kicauan burung Kutilang
itu? Indah sekali. Bisakah kau menghadapkannya padaku?” Harimau bertanya
sekaligus memerintah.
“Baiklah yang mulia, hamba akan
mencobanya.” Kera kemudian memanjat pohon jati yang menjadi tempat berkicaunya
sang Kutilang untuk menyampaikan pesan
dari Harimau. Setelah menerima pesan dari Kera, Kutilang segera turun untuk
menemui Harimau.
“Ada apa gerangan tuanku memanggil
hamba untuk menghadap? Adakah kesalahan yang hamba perbuat?” Kutilang bertanya.
“Tidak, sama sekali engkau tidak
melakukan kesalahan.” Jawab Harimau.
“Lalu ada apakah paduka menginginkan
hamba menghadap?” Kutilang melanjutan.
“Aku sangat terkesan dengan nyanyianmu
tadi. Maukah kau mengajarkan padaku bagaimana caranya menyanyi sepertimu?”
Pinta Harimau.
“Maaf yang mulia, saya dan anda
mepunyai kelebihan masing-masing yang tidak dapat ditiru. Paduka mempunyai badan
yang kekar dan gagah serta taring yang kuat. Dan saya diberikan kelebihan bisa
terbang dan bernyanyi. Jadi tidak mungkin saya bisa mengajarkan bagaimana cara
menyanyi saya kepada tuan.” Kutilang menjelaskan.
“Engkau pasti telah menyembunyika
rahasia bagaimana cara bernyanyimu dariku. Tidak ada yag tidak bisa diajarkan
didunia ini.” selidik Harimau.
“sama sekali tidak ada yang hamba
rahasiakan dari tuan. Hanya saya dan kaum saya yang bisa bisa bernyanyi seperti
ini, karena ini adalah anugerah yang berikan kepada kami. Demikian juga dengan
suara auman tuan miliki, tidak ada satupun hewab dimuka bumi ni yang bisa
menyamainya.” Kutilang memberikan pengertian. Namun Harimau tetap saja tidak
mau mengerti dengan penjelasan yang diberikan Kutilang. Ia tetap memaksa
Kutilang untuk memberitahukan rahasia kicauannya. Permintaan Harimau ini tentu
saja membuatnya semakin bingung dan tidak tahu harus berkata apa karena memang
ia tidak bisa memenuhinya. Kera hanya berdiri menonton perdebatan antara
Harimau dan Kutilang. Ia sangatlah tahu bahwa kicauan Kutilang tidak bisa
ditirukan oleh yang lain, namun ia juga tidak berani mengatakn kepada Harimau karena ia takut kalau-kalau
rajanya tersebut marah padanya.
Kali ini harimau benar-benar marah
pada Kutilang. Ia tetap saja bersikukuh bahwa Kutilang tidak mau mengajarkan
padanya bagaiman caranya menyanyi.
“Kutilang, kau tetap pada pendirianmu
tidak mau mengajarkan bagaimana menyanyi sepertimu?” Bentak harimau.
“Baiklah tuan, saya akan bernyanyi
didepan paduka, saya harap yang mulia bisa mempelajarinya.”
Kutilang kemudian bernyanyi sambil
menari dengan indahnya didepan Harimau. Kicauan merdunya terdengar sangatlah
indah di Telinga raja yang tengah berkelana itu. Ia sangat terpukau dengan
suara riuh rendah yang sangat harmonis tersebut.
“Kera caoba kau perhatikan bagaimana
caranya menyanyi, mungkin saja kau bisa mengetahui rahasia nyanyiannya.” Ucap
Harimau sembari terus menyimak nyanyian sang Kutilang. Kicau merdu sang
Kutilang akhirnya berhenti.
“Saya sudah memperlihatkan seluruh
kemampuan saya dalam bernyanyi. Sekarang giliran paduka untuk mencobanya.” Kata
Kutliang.
Harimau kemudian mengambil posisi
untuk mulai bernyanyi. Ia menarik nafas dalam-dalam sebagai persiapan. Dengan
bergaya layaknnya Kutilang, ia kemudian mengeluarkan nafas yang sudah terkumpul
dalam dadanya. Ketika tersebut keluara dari mulutnya, tidak ada sama sekali
suara merdu yang keluar. Malah layaknya bagaikan dengkuran yang menggelikan.
Harimau malu sekali dengan keadaan yang dihadapinya. Ia mencobanya sekali lagi,
namun tetap saja hasilnya tidak yang seperti yang diharapkan. Dengan menahan
malu, ia mendekati Kutilang yang sedang bertengger didekatnya.
“Kutilang!” Bentak Harimau. “Kau pasti
telah merahasiakan sesuatu dariku. Tidak mungkin tidak ada hal yang tidak bisa
dipelajari di muka bumi.”
“Sama sekali tidak ada yang saya
rahasiakan yang mulia.” Jelas Kuitlang menenangkan. “Kicauan yang saya miliki
adalah sebuah karunia yang tidak bisa dipelajari siapapun kecuali para
Kutilang.”
Harimau yang sudah terlanjur marah
karena merasa dibohongi dan dipermalukan oleh Kutilang, menangkap Kutilang
kemudian mencengkeramnya kuta-kuat.
“Sekarang kau sudah berada dalam
cengkeramanku, apakah kau masih tetap tidak mau mengatakan rahasia menyanyimu?”
Kutilang yang memang telah mengatakan
apa adanya kepada Harimau, segera meminta ampun karena ia sadar apa yang akan
terjadi selanjutnya jika ia tidak segera memohon ampunan.
“Ampun yang mulia. Hamba telah
mengatakan semuanya dengan jujur, tidak ada satupun yang hamba tutup-tutupi.
Kera yang dari tadi hanya menonton apa
yang terjadi, berusaha memabantu Kutilang yang dalam bahaya.
“Benar yang mulia, kicauan Kutilang
memang tidak bisa dimiliki oles siapapun kecuali dia. Tapi menurut hamba, auman
yang mulia jauh lebih berwibawa daripada nyanyian Kutilang.” Kata Kara berusaha
memberi penjelasan sekaligus menenangkan Harimau.
“Diam kamu Kera, kau tak perlu turut
campur masalah ini.” Ucap Harimau marah.
“Bukan begitu maksud hamba paduka.
Hamba hanya ingin menjaga wibawa yang mulia agar tidak tercemar karena
melakukan perbuatan yang memalukan
seperti ini.”
“Memalukan katamu?” Tanya Harimau pada
Kera. “Justru aku ingin menambah kewibawaanku kalau aku bisa menyanyi. Semua
wargaku akan memujiku karena aku juga bisa menyanyi dengan indah, bukan hanya
mengaum.”
Kera berjalan mendekati Harimau,
“sekali lagi maafkan saya tuan. Bukannya saya hendak mencampuri urusan paduka,
namun apa yang dikatakan kutilang benar adanya. Tidak mungkin yang mulia bisa
menyanyi seperti dia, karena kemampuan menyanyi Kutilang hanya Kutilanglah yang
bisa mempelajarinya.” Kera berusaha memberikan pengertian. Mendengar penjelasan
Kera yang sepertinya malah menyudutkan dirinya, membuat Harimau semakin marah.
“Kau kuajak bersamaku untuk menemani
dan membantuku, bukan melawan kehendakku. Sekarang lebih baik kau pergi dari
hadapanku. Pergi atau kau akan kujadikan santapanku.”
Melihat kemarahan Harimau yang
tampaknya sudah memuncak, Kera tidak bisa berbuat apa-apa. Iapun hanya bisa
pasrah dan kemudian pergi meninggalkan tempat itu. Berbagai penjelasan dari
Kera dan Kutilang hingga akhirnya Kera pergi meninggalkannya bukannya membuat
Harimau menjadi sadar akan kesalahannya. Ia malah semakin menjadi dengan
obsesinya untuk bisa menyanyi seperti Kutilang. Matanya menatap Kutilang yang tak
berdaya dengan penuh selidik.
“Katakan apa yang menjadi rahasia
menyanyimu, atau kau akan kujadikan santapan pembukaku?” Harimau mengancam.
Dengan penuh takut, Kutilang menjawab
“saya sama sekali tidak mempunyai rahasia apapun dalam menyanyi. Karena semua
kaum kami bisa melakukan hal itu seiring pertumbuhan usia mereka.
“Kau pasti berbohong, baiklah kalau
kau tidak mau mengatkannya. Aku akan mencarinya sendiri.” Bersamaan dengan
selesainya ucapan Harimau, ia kemudian meremukkan tulang-tulang Kutilang hingga
burung kecil itu mati. Setelah Kutilang mati, dengan kukunya yng tajam Harimau
kemudian mencabik-cabik tubuhnya dengan harapan bisa menemukan rahasia suara
indah dari Kutilang. Harimau mengawasi dengan teliti setiap daging dan tulang
milik Kutilang yang sudah hancur. Namun tetap saja ia tidak bisa menemukan
apa-apa. Demikian pula ketika ia memeriksa bagian dalam leher dari Kutilang,
juga tidak ditemukan keanehan disana. Mungkin dengan memkannya aku akan
mendapatkan suara merdunya, demikian pikir Harimau. Tak menunggu lama, ia
langsung memakan bangkai Kutilang yang sudah tak berbentuk itu. Mangsa kecil
tersebut tentu saja langsung ia habiskan dalam sekali lahap. Selesai memakan
Kutilang malang itu, Harimau mencoba bernyanyi kembali.
Sambil berjalan menyusuri hutan ia
terus menerus berlatih menyanyi. Namun hasil yang didapatkan ternyata sama
saja. Hanya auman membahana yang keluar dari sela taringnya. Melihat tingkah
dari raja hutan tersebut tentu saja membuat heran para penghuni hutan yang
kebetulan berpapasan dengannya. Harimau tidak peduli dengan tatap mata aneh
dari warga hutan yang heran melihat tingkah yang memang tidak seperti biasanya.
Matahari sudah mulai redup ketika
Harimau sampai ditepi sungai yang hampir kering airnya. Ia kemudian minum dan
beristirahat ditempat itu. Setelah merasa cukup melepas lelah, Harimau
meneruskan perjalanannya dengan menyebrangi sungai. Saat malam mulai menyapa,
barulah Harimau mencari tempat untuk menginap malam ini. Ia memilih untuk beristirahat
dibawah pohon Maoni.
Pagi hari, ketika Harimau terbangun
dari tidurnya ia merakan betapa lapar perutnya. Hari belum begitu terang, namun
ia memutuskan untuk pergi berburu mencari makanan. Matanya yang tajam
menjadikan remang suasana hutan tidak menjadi penghalang. Hidungnya terus
menerus mengendus bau mangsa yang bisa didapatinya. Lama ia berjalan mencari
mangsa hingga belantara yang semula remang menjadi benderang.
Kini didepannya menghampar hutan
padang rumput dan beberapa rumpun pohon bambu. Pasti akan banyak hewan yang
mencari makan ditempat ini, katanya dalam hati. Angin bertiup cukup kencang
waktu itu, hingga menjadikan pucuk-pucuk ilalang bergoyang. Harimau kemudian
bersembunyi diantara tingginya ilalang untuk mengintai calon mangsanya.
Benar juga apa yang menjadi perkiraannya.
Matanya menangkap seekor Kancil kecil yang tengah duduk dibawah rumpun bambu.
Melihat Kancil, ia langsung teringat pada cerita Kera beberapa waktu lalu.
Mengingat Kancil adalah hewan sangat cerdik maka Harimaupun amat berhati-hati
dalam mendekatinya. Ia mengendap-ngendap menuju rumpun bambu dimana Kancil
tengah duduk. Begitu sudah merasa cukup dekat, ia segera melompat dan kini
tepat berada didepan Kancil. Kancil amat sangat kaget melihat siapa yang
sekarang tengah berdiri dihadapannya. Harimau, sang raja hutan! Kancil tak
habis pikir mengapa ia sampai tidak tahu dengan kedatangan Harimau.
“Sekarang kau tidak akan bisa pergi
kema-mana lagi Kancil. Kau telah menipu Kera, dan sekarang aku akan
menjadikanmu sebagai mangsaku.”
Kancil ketakutan setengah mati
mendengar perkataan Harimau. Di pagi yang cerah dengan disertai semilirnya
angin ini ternyata akan menjadi akhir hidupku, pikir Kancil. Harimau berjalan
perlahan mendekati mangsanya, sementara Kancil juga mundur selangkah demi
selangkah hingga akhirnya tubuhnya membentur rumpun bambu hingga ia tak bisa
lagi kemana-mana. Merasa ajalnya sudah semakin dekat, Kancil duduk bersimpuh
dibawah rumpun bambu. Bersamaan dengan itulah angin bertiup cukup kencang
hingga menyebabkan beberapa pohon bambu saling bergesekan dan menimbulkan
suara, krieet,,, krieet,,, krieet. Harimau terpukau mendengar suara yang
ditimbulkan oleh pohon bambu tersebut, namun ia tidak tahu dari mana asalnya
suara itu.
“Suara apa itu?” Tanya Harimau.
“Itu adalah suara seruling dewa.”
Jawab Kancil sekenanya.
“Seruling dewa?”
“Iya paduka, dan keberadaan saya
disini adalah untuk menjaganya.” Kata Kancil.
“Bisakah kau memainkannya untukku?”
Pinta Harimau.
“Tentu saja! Namun saya harus menunggu
angin agar memudahkan saya untuk meniupnya.”
“Baiklah!” Kata Harimau.
Harimau dan Kancil menunggu dengan
sabar datangnya angin. Kancil berlagak diantara rumpun bambu seolah olah ia
hendak meniup seruling. Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Angin
bertiup dengan kencangnya hingga puluhan pohon bambu saling beradu dan suara
riuhpun terdengar. Mulut dan tangan Kancil juga bekerja layaknya tengah
memperagakan sedang meniup seruling. Harimau nampak sangat girang dengan apa
yang dilihatnya.
“Kancil, apakah kau bisa mengajariku
bagaimana caranya meniup seruling dewa ini?” Tanya Harimau.
“Bisa saja, asalkan paduka mau
menuruti semua perintah hamba.”
“Baiklah aku setuju, ajarkan padaku.”
Kancil kemudian menjelaskan bagaimana
caranya bisa memainkan seruling dewa yang sedang ditungguinya. Pertama-tama
Harimau harus menempelkan lidahnya kebatang bambu sembari meniupnya agar ia
terbiasa. Tanpa banyak basa-basi Harimau menurut saja pada perkataan Kancil. Ia
kemudian menempelkan lidahnya pada salah satu batang bambu kemudian meniupnya.
Lama ia meniup, namun suara yang diinginkan tidak juga keluar.
“Kau bohong padaku Cil?” Bentak
Harimau.
“Mana mungkin saya berani berbohong
pada paduka yang mulia.” Sahut Kancil. “Yang mulia harus menunggu bantuan
angin, karena tuan belum pernah meniup seruling itu sebelumnya. Sekarang cobalah
lagi.” Perintah Kancil.
Harimau menempelkan lidahnya disalah
satu batang bambu. Mulutnya tak berhenti meniup layaknya tengah memainkan
seruling. Akhirnya angin yang ditunggupun datang. Namun kali ini angin yang
bertiup tidak begitu kencang, hingga suara yang ditimbulkannyapun hanya suara
yang kecil. Harimau girang alang kepalang menyadari dirinya bisa memainkan
seruling dewa tersebut.
“Aku bisa Cil, aku berhasil.” Harimau
kegirangan.
“Ulangilah lagi paduka, agar anda
terbiasa dan bisa memainkan seruling itu dimana saja.” Ucap Kancil.
“Benarkah aku bisa memainkannya dimana
saja? Baiklah kalau begitu.”
Harimau kembali menmpelkan lidahnya
pada batang bambu. Sementara kancil berjalan mengendap-endap untul meloloskan
diri.
“Mau kemana kau Cil?” Tanya Harimau.
“Saya akan pergi sebentar untuk
mencari minum disungai. Yang mulia pasti akan kehausan saat meniup seruling
itu.”
“Baiklah kalau begitu, cepatlah
kembali agar aku bisa belajar lebih banyak.”
Kancil segera melangkahkan kakinya
untuk meninggalkan rumpun bambu tersebut dan setelah merasa cukup jauh iapun
berlari secepatnya. Harimau masih terus menempelkan lidahnya di batang bambu
sambil terus meniupnya. Karena angin yang berhembus waktu itu belum terlalu
kencang maka suara yang ditimbulkan akibat gesekan batang bambupun tidak
seberapa. Namun Harimau tidak menyerah begitu saja, ia terus berusaha untuk
meniup seruling dewa tersebut. Ia pun beristirahat sejenak untuk mengembalikan
tenaganya sambil menunggu Kancil yang tengah mencari air minum. Akhirnya angin
yang ditunggu-tunggu datang juga. Dari kejauhan ia melihat pucuk ilalang yang
nampak bergoyang kencang karena tiupan angin. Harimau tidak melepaskan
kesempatan ini begitu saja, ia segera mendekati batang bambu dan menempelkan
lidahnya disana. Begitu angin kencang tersebut sampai dirumpun bambu itu, tentu
saja membuat seluruh bantang-batang bambu bergerak tak beraturan dan
menimbulkan suara yang cukup riuh. Harimau semakin bersemangat karena
keberhasilannya memainkan seruling dewa itu. Ia menjulurkan lidahnya semakin
panjang keluar dan karena tiupan angin juga semakin kencang maka batang bambu
yang bergerakpun bukan hanya dibagian atasnya saja. Karena lidahnya yang
menjulur terlalu panjang dan batang bambu juga bergerak seluruhnya, maka akhirnya
lidahnya itupun terjepit oleh batang bambu yang saling bergesekan. Sakit alang
kepalang dirasakan Harimau ketika lidahnya terjepit diantara pohon bambu dan
tidak bisa segera ia lepaskan. Gerak batang bambuyang tak beraturan tersebut
membuatnya semakin kesulitan melepaskan lidahnya. Tapi kejadian tersebut tidak
berlangsung lama, karena angin yang berhembus semakin pelan. Pada akhirnya ia
bisa menarik paksa lidahnya. Sakit, perih, dan berbagai perasaan yang dirasakan
Harimau saat ini. Ia semakin jengkel karena juga telah ditipu oleh Kancil dan
hampir saja ia mati karenanya.
“Awas kau Cil, kau pasti akan menerima
akibatnya.” Demikian kata Harimau sambil berjalan menahan sakit meninggalkan
tempat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar